Sabtu, 23 Februari 2013

Kisah di Negeri Kita, XII Analis 2


Detik ini telah menginjak tahun ketiga semenjak kita bertemu. Entah sudah berapa detik kita saling mengenal, saling memahami, atau bahkan saling menyakiti. Aku dan kalian yang terangkum dalam kata “kita” adalah setetes embun yang sedang mencari selembar daun.
Tiga tahun yang lalu kita bertemu di musim gugur kehidupan. Mungkin karena itu pulalah kita seringkali menyesali takdir yang sebenarnya indah. Aku menyimpan beragam pendapat tentang diri kalian yang masih lugu, mungkin hal serupa juga terjadi pada kalian.
Dulu, aku tak pernah menyangka jika aku akan sampai pada suatu kehidupan yang sama sekali berbeda. Aku pernah menangis karena gagal, akhirnya dengan segala keterpaksaan, aku memilih belok ke suatu jalan yang sebenarnya aku sendiri tak tahu akan berujung di mana. Tapi ternyata, disinilah aku mulai belajar menghargai ilmu dan mengintip masa depan.
Detik ini, aku dan kalian hampir tiba di suatu titik yang disebut masa depan. Seiring waktu berdetak, hubungan kita semakin dekat. Kita seringkali duduk melingkar, membicarakan masa depan kita, mimpi-mimpi kita, dan harapan-harapan sederhana kita yang mungkin hanya dipandang sebelah mata oleh dunia.
Kita punya mimpi yang beragam. Ada yang ingin menjadi seorang duta besar, ada yang ingin menjadi seorang pengusaha, ada yang ingin menjadi seorang dokter, ada yang ingin menjadi seorang guru, ada yang ingin menjadi seorang menteri, dan ada pula yang ingin menjadi seorang analis. Aku sendiri masih menyimpan setitik mimpi yang sederhana, menjadi seorang penulis dan juga seorang pengusaha penerbitan buku yang akan membantu para penulis pemula untuk menerbitkan karyanya.
Cita-cita kita mulia, meski terkadang banyak pihak yang meremehkan. Kita seringkali dianggap sebagai titik yang tak dipedulikan keberadaannya. Tak perlu kecewa teman, tetaplah menjadi kita yang apa adanya. Di negeri kita begitu banyak bintang yang bersinar tak hanya di waktu malam. Ada yang pandai bermain angka, ada yang pandai bermain kata, ada yang gemulai menggerakkan tubuh, ada wanita bersuara merdu, ada yang bergelar bintang lapangan, dan ada pula yang berbakat menjadi seorang pemimpin. Tak perlu kecewa saat potensi kita tak pernah dilirik, bukankah sebuah keahlian bukan untuk dipamerkan?
Aku masih ingat saat kita menangis bersama karena sebuah ketakutan. Takut tidak bisa membahagiakan orangtua kita, takut tidak bisa membanggakan guru-guru kita, dan ketakutan-ketakutan lain yang begitu sulit untuk dideskripsikan. Mungkin, saat itulah pertama kalinya aku meneteskan air mata untuk sebuah misteri, dan saat itu pula pertama kalinya aku bisa melepaskan batu yang selama ini menyumbat tikungan di hatiku.
Suatu saat, mungkin kita tak akan bertemu lagi. Tapi apabila di satu waktu kita bisa kembali beradu pandang, kuharap kalian masih punya sedikit ruang untuk mengingat satu sama lain, setidaknya sebagai teman yang pernah berbagi bahu untuk menangis. Kuharap kalian juga masih ingat mimpi kita beberapa waktu lalu, membangun sebuah sekolah di tengah hutan untuk adik-adik kita yang hidup di pedalaman. Sederhana, tapi sangat bermakna.
Tak terasa dua bulan lagi kita akan mengusahakan nasib kita masing-masing. Sebagian ke utara, sebagian ke selatan, sebagian ke barat, dan sebagian lagi ke timur. Tapi kuyakin, suatu saat kita pasti akan betemu di sebuah titik yang bernama “Kesuksesan.”


Kepedihan dalam Ikrar


Embun pagi menetes syahdu
Mentari lahir dibalik langit yang malu-malu
Aku diam termangu
Teriakan rindu bersahutan di dasar hatiku

Rasa sakit meletup-letup
Bagai didihan air yang dahsyat
Retak hati, hancur harap
Karenamu..
Habis hasrat tinggallah pekat

Kita terpisah
Meski berpijak di tanah yang sama
Endapkan luka
Dalam wajah hari yang muram merana

Rasa sakit ini berbisik pelan
Mengiba pada sosokmu yang tak berperasaan
Kumohon,
Menolehlah barang sebentar
Sebelum janji setiamu berikrar
Padanya,
Gadis rupawan yang mempercayaimu sebagai imam

Air Mata Sang Pujangga


Aku adalah pemanah yang takut pada busur panah
Aku adalah pelaut yang takut pada deru ombak
Aku adalah penerjun yang takut pada keagungan biru
Dan aku adalah pujangga yang kelu melantangkan syair-syair cinta

Hasratku bergelora
Ingin menggenggam tanganmu wahai jelita
Tapi apa daya
Cintaku terpendam dalam kebisingan khayal

Laraku mendaki ke puncak genting
Merangkak sendiri mencari pasti
Lekuk tubuhmu menari-nari
Tertawa manja dalam dekapan lelaki yang kau pilih

Biarlah
Cintaku menjadi puisi tanpa majas
Seuntai kata tanpa bias
Juga segenap rasa tanpa balas
Tanpamu,
Sang rembulan yang telah pergi bersama matahari

Rabu, 20 Februari 2013

Sepasang Sendal Jepit


“Fahri.” Nama itulah yang pertama kali teringat ketika aku mengeluarkan benda berwarna putih kombinasi biru ini dari box coklatku. Sebuah sendal jepit yang ia hadiahkan untukku tiga tahun lalu. Jika boleh diralat, sebenarnya ini bukanlah hadiah, tapi lebih tepatnya merupakan lambang perpisahan yang menjadi saksi bisu pertemuan terakhir kami.
            Fahri adalah lelaki sederhana yang selalu tampil sempurna dihadapanku. Dia bukan kekasihku, dia adalah sahabat yang sudah bertahun-tahun mengisi hari-hariku. Kami bersahabat sejak duduk dibangku Sekolah Dasar. Namun, seolah sudah menjadi bagian dari rencana takdir, kami pun kembali dipersatukan di Sekolah Menengah Pertama yang sama. Hubungan kami semakin dekat, kebersamaan pun kian terjalin erat. Pernah beberapa kali Fahri membuatku berpikiran bahwa ia punya rasa padaku. Tapi pada kenyataannya, ia hanya bungkam dalam canda tawa yang tercipta, ia hanya hadir sebagai sahabat yang mampu menyeka gelisah. Aku sendiri tak bisa memahami perihal perasaanku terhadapnya. Aku hanya tau, selama ini aku terbiasa melukis jejak bersamanya, meleburkan hari-hari sepi dalam gurauan berharga, hingga menyembuhkan luka dalam genggaman tak bernama.
            Hari-hari berlalu begitu cepat dalam kebisuan hati. Jika selama ini kami menganggap takdir sebagai penolong kebersamaan kami, tidak demikian dengan apa yang terjadi setelah aku dan Fahri lulus dari Sekolah Menengah Pertama. Fahri bersama keluarganya harus pindah ke Kota Surabaya. Entah apa penyebabnya, tapi yang pasti Fahri harus meneruskan pendidikan di Kota padat penduduk itu. Aku tak kuasa menahannya, karena aku bukan siapa-siapa baginya. Terlebih saat itu kami hanyalah remaja yang belum mengerti bagaimana cinta orang dewasa yang sebenarnya. Namun sebelum perpisahan itu tiba, aku dan Fahri sempat bertemu di tepi sungai yang letaknya tidak jauh dari rumahku.
            Kala itu, suasana malam sangat bersahaja. Bintang-bintang bergantian memancarkan sinarnya, angin pun seakan bergurau senda dengan daun-daun yang terlihat hijau sumringah. Aku terdiam, begitu juga dengan Fahri. Kami terseret jauh ke dalam detik-detik penuh makna yang pernah berdetak di tahun-tahun yang lalu. Adakah semua itu akan terulang di masa depan? Entahlah, masa depan adalah misteri yang sengaja kubiarkan terkunci rapat. Biar saja waktu yang menjawabnya.
            Ditengah keresahan yang menyelinap diantara kami, suara Fahri terdengar begitu lembut menyapa keheningan hati. Bahkan lebih lembut dari tatapan sang rembulan yang terkesima menyaksikan kisah kami di bumi. Fahri menyodorkan sebuah kantong plastik berwarna merah muda. Aku tersenyum, kubuka kantong plastik itu dengan rasa gundah yang masih tersisa. Sepasang sendal jepit berwarna putih kombinasi biru menjadi satu-satunya aktor dalam kantong plastik itu. Fahri tersenyum ikhlas padaku. Aku tau, seikhlas dan semanis apapun senyumnya, tidak akan mampu membiaskan kesedihan yang tergurat jelas di wajahnya. Tatapannya terasa begitu hangat, Perlahan ia mulai mengatakan bahwa ia ingin menjadi satu-satunya penopang langkahku, pelindung dalam setiap jejak yang ku ukir, dan juga penuntun langkahku kemanapun aku berpijak melalui wujud sepasang sendal jepit. Sederhana memang, hanya sepasang alas kaki yang bagi sebagian orang bisa dibeli dengan mata setengah tertutup. Tapi bagiku, sendal jepit ini begitu berharga melebihi apapun yang pernah aku punya. Karena sendal jepit ini adalah pemberian dari seseorang yang sangat berarti. Seseorang yang bahkan tak pernah menjadi kekasihku. Tapi kebaikannya, kasihnya, juga ketulusannya lebih dari seorang kekasih.