Detik ini telah
menginjak tahun ketiga semenjak kita bertemu. Entah sudah berapa detik kita
saling mengenal, saling memahami, atau bahkan saling menyakiti. Aku dan kalian
yang terangkum dalam kata “kita” adalah setetes embun yang sedang mencari
selembar daun.
Tiga tahun yang lalu
kita bertemu di musim gugur kehidupan. Mungkin karena itu pulalah kita
seringkali menyesali takdir yang sebenarnya indah. Aku menyimpan beragam
pendapat tentang diri kalian yang masih lugu, mungkin hal serupa juga terjadi
pada kalian.
Dulu, aku tak pernah
menyangka jika aku akan sampai pada suatu kehidupan yang sama sekali berbeda.
Aku pernah menangis karena gagal, akhirnya dengan segala keterpaksaan, aku
memilih belok ke suatu jalan yang sebenarnya aku sendiri tak tahu akan berujung
di mana. Tapi ternyata, disinilah aku mulai belajar menghargai ilmu dan
mengintip masa depan.
Detik ini, aku dan
kalian hampir tiba di suatu titik yang disebut masa depan. Seiring waktu
berdetak, hubungan kita semakin dekat. Kita seringkali duduk melingkar,
membicarakan masa depan kita, mimpi-mimpi kita, dan harapan-harapan sederhana
kita yang mungkin hanya dipandang sebelah mata oleh dunia.
Kita punya mimpi yang
beragam. Ada yang ingin menjadi seorang duta besar, ada yang ingin menjadi
seorang pengusaha, ada yang ingin menjadi seorang dokter, ada yang ingin
menjadi seorang guru, ada yang ingin menjadi seorang menteri, dan ada pula yang
ingin menjadi seorang analis. Aku sendiri masih menyimpan setitik mimpi yang
sederhana, menjadi seorang penulis dan juga seorang pengusaha penerbitan buku
yang akan membantu para penulis pemula untuk menerbitkan karyanya.
Cita-cita kita mulia,
meski terkadang banyak pihak yang meremehkan. Kita seringkali dianggap sebagai
titik yang tak dipedulikan keberadaannya. Tak perlu kecewa teman, tetaplah
menjadi kita yang apa adanya. Di negeri kita begitu banyak bintang yang
bersinar tak hanya di waktu malam. Ada yang pandai bermain angka, ada yang
pandai bermain kata, ada yang gemulai menggerakkan tubuh, ada wanita bersuara
merdu, ada yang bergelar bintang lapangan, dan ada pula yang berbakat menjadi
seorang pemimpin. Tak perlu kecewa saat potensi kita tak pernah dilirik,
bukankah sebuah keahlian bukan untuk dipamerkan?
Aku masih ingat saat
kita menangis bersama karena sebuah ketakutan. Takut tidak bisa membahagiakan
orangtua kita, takut tidak bisa membanggakan guru-guru kita, dan
ketakutan-ketakutan lain yang begitu sulit untuk dideskripsikan. Mungkin, saat
itulah pertama kalinya aku meneteskan air mata untuk sebuah misteri, dan saat
itu pula pertama kalinya aku bisa melepaskan batu yang selama ini menyumbat
tikungan di hatiku.
Suatu saat, mungkin
kita tak akan bertemu lagi. Tapi apabila di satu waktu kita bisa kembali beradu
pandang, kuharap kalian masih punya sedikit ruang untuk mengingat satu sama
lain, setidaknya sebagai teman yang pernah berbagi bahu untuk menangis. Kuharap
kalian juga masih ingat mimpi kita beberapa waktu lalu, membangun sebuah
sekolah di tengah hutan untuk adik-adik kita yang hidup di pedalaman. Sederhana,
tapi sangat bermakna.
Tak terasa dua bulan
lagi kita akan mengusahakan nasib kita masing-masing. Sebagian ke utara,
sebagian ke selatan, sebagian ke barat, dan sebagian lagi ke timur. Tapi
kuyakin, suatu saat kita pasti akan betemu di sebuah titik yang bernama
“Kesuksesan.”